Semakin dilarang, semakin kuat keinginan publik untuk mengetahuinya. Balibo Five, sebuah film karangan produser dari Australia yang menceritakan tewasnya lima wartawan asing yang berasal dari Australia, Selandia Baru, dan Inggris saat tentara Indonesia mulai memasuki Timor Leste pada tahun 1975.
Ada dua versi tentang kematian lima wartawan tersebut, yang pertama versi TNI dalam hal ini Pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa kelima wartawan tersebut tewas karena terjebak ditengah-tengah peperangan.Versi kedua berasal dari penyelidikan koroner di Negara Bagian New South Wales, Australia, menyebutkan bahwa para jurnalis itu dibunuh tentara Indonesia. Bahkan, ada satu mantan jenderal yang pernah menjadi menteri yang disebut-sebut turut mengeksekusi.
Pelarangan Lembaga Sensor Film (LSF) untuk memutar film tersebut di Jiffest 2009 menjadi polemik yang terus memanas. Pemutaran Balibo Five oleh komunitas Utan Kayu kamis lalu (3/12) menuai reaksi keras dari Menbudpar (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) Jero Wacik. Jero mengatakan, karena film itu dilarang, polisi seharusnya bertindak lebih represif. "Semestinya polisi proaktif, LSF telah melarang film tersebut," tuturnya.
Seharusnya biarkanlah Balibo Five diputar agar siapa saja bisa menilai apakah film tersebut cukup logis mendukung tuduhan bahwa kelima wartawan tersebut dibunuh. Alasan LSF bahwa pemutaran Balibo Five bisa membuka luka lama hubungan Indonesia-Australia-Timor Leste terasa terlalu mengkerdilkan kedewasaan berpikir publik. Kalau memang tak terima dengan versi Balibo Five, akan lebih bijak kalau pemerintah juga menyiapkan versi mereka sendiri tentang peristiwa tersebut. Karya Intelektual dibalas dengan karya intelektual.
sumber: jawa pos (7/12)